RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
(RDS)
1.
Definisi
- Respiratory
distress syndrome adalah suatu bentuk gagal nafas yang ditandai dengan
hipoksemia, penurunan compliance paru, dispnea, edema pulmonal bilateral tanpa
gagal jantung dan infiltrat yang menyebar (Somantri, 2009).
- Respiratory
distress syndrome (RDS) merupakan kumpulan gejala yang terdiri atas dispnea,
frekuensi pernafasan yang lebih dari 60 kali permenit, adanya sianosis, adanya
rintihan pada saat ekspirasi (ekspiratory
grunting), serta adanya retraksi suprasternal, interkostal, dan epigastrium
saat inspirasi. Penyakit ini adalah penyakit membran hialin, dimana terjadi
perubahan atau berkurangnya komponen surfaktan pulmonal (zat aktif alveoli yang
dapat mencegah kolaps paru dan mampu menahan sisa udara pada akhir ekspirasi) (Hidayat, 2008).
- Respiratory
distress syndrome juga dikenal sebagai penyait membran hialin, biasanya
dikaitkan dengan bayi preterm dan merupakan masalah yang paling serius (Meadow & Newell, 2005).
2.
Klasifikasi
Dibagi menjadi dua
stadium, yaitu :
a. Eksudatif
Ditandai dengan adanya
perdarahan pada permukaan parenkim paru, edema interstisial atau elveolar,
penekanan pada bronkiolus terminalis, dan kerusakan pada sel alveolar tipe I (Somantri, 2009).
b. Fibroproliferatif
Ditandai dengan adanya
kerusakan pada sel alveolar tipe II, peningkatan tekanan puncak inspirasi,
penurunan compliance paru,
hipoksemia, penurunan fungsi kapasitas residual, fibrolisis interstisial, dan
peningkatan ruang rugi ventilasi (Somantri, 2009).
Pada foto thorak menurut kriteria
Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :
a. Stadium 1
Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit
bronchogram udara
b. Stadium 2
Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru
dan gambaran air broncogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke
perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
c. Stadium 3
Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua
lapangan paru terlihat lebih opaque (white lung) dan bayangan jantung hampir
tidak terlihat, bronchogram udara lebih luas.
d. Stadium 4
Seluruh thorak sangat opaque (white lung) sehingga jnatung
tidak dapat terlihat.
(Warman, Waskito, & Romadhon, 2012).
3.
Etiologi
Faktor risiko
terjadinya respiratory distress
syndrome adalah :
a.
Bayi kurang bulan atau bayi premature
Pada bayi kurang bulan,
paru bayi secara biokimiawi masih imatur dengan kekurangan surfaktan uang
melapisi rongga paru.
b.
Kegawatan neonatal
Seperti kehilangan
darah dalam periode perinatal, aspirasi mekonium, pnemotoraks akibat tinadakan
resusitasi, dan hipertensi pulmonal.
c.
Bayi dari ibu diabetes mellitus
Pada bayi dengan
diabetes terjadi keterlambatan pematangan paru sehingga terjadi distress
respirasi.
(Warman et al., 2012)
4.
Manifestasi
Klinis
a. Sesak
nafas atau pernafasan cepat
b. Frekuensi
nafas > 60 x/menit
c. Pernafasan
cepat dan dangkal timbul setelah 6-8 jam setelah lahir
d. Retraksi
interkostal, epigastrium, atau suprasternal pada inspirasi
e. Sianosis
dan pernafasan cuping hidung
f. Grunting
pada ekspirasi (terdengan seperti suara rintihan saat ekspirasi)
g. Takikardi
(170 x/menit)
(Suryanah, 1996).
Evaluasi gawat nafas menurut skor down
Pembeda
|
0
|
1
|
2
|
Keterangan
|
Frekuensi nafas
|
< 60 x/menit
|
60-80 x/menit
|
> 80 x/menit
|
Skor < 4 tidak gawat nafas
|
Retraksi dada
|
Tidak ada
|
Ringan
|
Berat
|
|
Sianosis
|
Tida sianosis
|
Hilang dengan O2
|
Menetap walaupun diberikan O2
|
Skor 4-7 gawat nafas
|
Air entry
|
Udara masuk bilateral baik
|
Penurunan ringan udara masuk
|
Tidak ada udara masuk
|
|
Merintih atau grunting
|
Tidak merintih
|
Terdengar dengan stetoskop
|
Terdengar tanpa alat bantu
|
Skor > 7 ancaman gawat nafas
|
5.
Komplikasi
a.
Komplikasi jangka pendek dapat terjadi :
1)
Kebocoran alveoli
Apabila dicurigai terjadi kebocoran
udara seperti pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema
intersisiel, pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala
klinikal hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
2)
Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang
memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat
timbul kerana tindakan invasif seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan
alat-alat respirasi.
3)
Perdarahan intrakranial
Perdarahan intraventrikuler terjadi
pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan
ventilasi mekanik.
b.
Komplikasi jangka panjang
Dapat disebabkan oleh keracunan
oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru, memberatkan penyakit dan kekurangan
oksigen yang menuju ke otak dan organ lain. Komplikasi jangka panjang yang
sering terjadi :
1)
Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
2)
Retinopathy prematur
(Azizah, 2013).
6.
Pemeriksaan
Penunjang
a.
Tes Kematangan Paru
1)
Tes Biokimia
Paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah
fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai
tolok ukur kematangan paru.
2)
Test
Biofisika
Tes biokimia dilakukan dengan shake test dengan cara mengocok cairan amnion yang dicampur ethanol akan
terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari cairan amnion
seperti protein, garam empedu dan asam lemak bebas. Bila
didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali ( cairan amnion : ethanol ) merupakan indikasi maturitas paru janin. Pada
kehamilan normal, mempunyai nilai prediksi positip yang tepat dengan resiko
yang kecil untuk terjadinya neonatal RDS.
b.
Analisis Gas
Darah
Gas darah menunjukkan
asidosis metabolik dan respiratorik bersamaan dengan hipoksia. Asidosis muncul karena
atelektasis alveolus atau over distensi jalan napas terminal.
c.
Radiografi
Thoraks
Pada bayi dengan RDS menunjukkan
retikular granular atau gambaran ground-glass bilateral, difus, air
bronchograms, dan ekspansi paru yang jelek. Gambaran air bronchograms
yang mencolok menunjukkan bronkiolus yang terisi udara didepan alveoli yang
kolap. Bayangan jantung bisa normal atau membesar. Kardiomegali mungkin dihasilkan
oleh asfiksi prenatal, diabetes
maternal , patent ductus arteriosus (PDA), kemungkinan
kelainan jantung bawaan. Temuan ini mungkin berubah dengan terapi surfaktan
dini dan ventilasi mekanik yang adekuat
(Warman et al., 2012).
7.
Penatalaksanaan
a.
Ventilasi
Mekanis
Ventilasi mekanis
merupakan prosedur bantuan hidup yang invasif dengan berbagai efek pada sistem
kardiopulmonal.
Tujuan :
Ventilasi mekanis
adalah membaiknya kondisi klinis pasien dan optimalisasi pertukaran gas dan
pada FiO2 (fractional concentration of inspired oxygen) yang minimal, serta
tekanan ventilator atau volume tidal yang minimal.
Indikasi
:
1) Indikasi
absolut
a) prolonged
apnea
b) PaO2
kurang dari 50 mmHg atau FiO2 diatas 0,8 yang bukan disebabkan oleh penyakit
jantung bawaan tipe sianotik
c) PaCO2
lebih dari 60 mmHg dengan asidemia persisten
d) Bayi
yang menggunakan anestesi umum
2) Indikasi
relatif
a) Frequent
intermittent apnea
b) Bayi
yang menunjukkan tanda-tanda kesulitan nafas
c) Pada
pemberian surfaktan
(Effendi & Firdaus, 2010).
b.
Terapi
surfaktan
Saat ini preparat
surfaktan yang tersedia antara lain adalah surfaktan sintetis dan surfaktan
natural yang berasal dari ekstrak paru-paru sapi atau dari bilas paru-paru
domba atau babi. Surfaktan dapat diberikan pada 6 sampai 24 jam setelah bayi
lahir apabila bayi mengalami respiratory distress syndrome yang berat.
Selanjutnya surfaktan dapat diberikan 2 jam (umumnya 4-6 jam) setelah dosis
awal apabila sesak menetap dan bayi memerlukan tambahan oksigen 30% atau lebih.
Surfaktan dapat diberikan langsung melalui selang ETT atau dengan menggunakan
nebulizer. Pemberian langsung kedalam selang ETT memungkinkan distribusi
surfaktan yang lebih cepat sampai ke bagian perifer paru-paru, efektivitas nya
lebih baik dan efek samping yang dapat ditimbulkan lebih sedikit. Pemberian surfaktan
juga dapat dilakukan dengan menggunakan nebulizer disertai dengan ventilasi
mekanis (2-3 menit), dilanjutkan dengan postural drainage (Effendi & Firdaus, 2010).
Nama produk surfaktan
|
Dosis
|
Dosis tambahan
|
Galfactant
|
3
ml/KgBB
|
Dapat
diulang sampai 3 kali pemberian dengan interval tiap 12 jam
|
Beractant
|
4
ml/KgBB
|
Dapat
diulang setelah 6 jam, sampai total 4 dosis dalam 48 jam
|
Colfosceril
|
5
ml/KgBB
|
Diberikan
dalam 4 menit Dapat diulang setelah 12 dan 24 jam
|
Porcine
|
2,5
ml/KgBB
|
Dosis
1,25 ml/KgBB dapat diberikan tiap 12 jam
|
c.
Continuos Positive
Airway Pressure (CPAP)
Continuos Positive
Airway Pressure (CPAP)
adalah merupakan suatu
alat untuk mempertahankan tekanan
positif pada saluran
napas neonatus selama
pernafasan spontan. CPAP
merupakan suatu alat yang sederhana dan efektif untuk tatalaksana respiratory
distress pada neonatus. Penggunaan CPAP yang benar terbukti dapat menurunkan
kesulitan bernafas, mengurangi ketergantungan terhadap oksigen, membantu
memperbaiki dan mempertahankan kapasitas residual paru, mencegah obstruksi
saluran nafas bagian atas, dan mecegah kollaps paru, mengurangi apneu, bradikardia, dan
episode sianotik.
Kontra
indikasi :
1) Bayi dengan
gagal nafas, dan
memenuhi kriteria untuk
mendapatkan support ventilator
2) Respirasi
yang irreguler
3) Adanya
anomali kongenital
4) Hernia
diafragmatika
5) Fistula
tracheo-oeshophageal
6) Trauma pada
nasal, yang kemungkinan
dapat memburuk dengan
pemasangan nasal prong
7) Instabilitas cardiovaskuler, yang akan
lebih baik apabila
mendapatkan support ventilator
(Effendi & Ambarwati, 2014).
d.
Extracorporeal
Membrane Oxygenation
Extracorporeal membrane
oxygenation (ECMO) merupakan alat yang menghubungkan langsung darah vena pada
alat paru-paru buatan (membrane oxygenator), dimana oksigen ditambahkan dan CO2
dikeluarkan, kemudian darah dipompa balik pada atrium kanan pasien (Venovenosis
ECMO) atau aorta (venoarterial). Prosedur ini membuat paru-paru dapat
beristirahat dan menghindari tekanan tinggi ventilator.
(Effendi & Firdaus, 2010).
Secara umum
penatalaksanaan pada pasien dengan respiratory distress syndrome adalah :
a. Memperthankan
stabilitas jantung paru yang dapat dilakukan dengan mengadakan pantauan mulai
dari kedalaman, kesimetrisan dan irama pernafasan, kecpatan, kualitas dan suara
jantung, mempertahankan kepatenan jalan nafas, memmantau reaksi terhadap
pemberian atau terapi medis, serta pantau PaO2. Selanjutnya
melakukan kolaborasi dalam pemberian surfaktan eksogen sesuai indikasi.
b. Memantau
urine, memantau serum elketrolit, mengkaji status hidrasi seperti turgor,
membran mukosa, dan status fontanel anterior. Apabila bayi mengalami kepanasan
berikan selimut kemudian berikan cairan melalui intravena sesuai indikasi.
c. Mempertahankan
intake kalori secara intravena, total parenteral nurition dengan memberikan
80-120 Kkal/Kg BB setian 24 jam, mempertahankan gula darah dengan memantau
gejala komplikasi adanya hipoglikemia, mempertahankan intake dan output,
memantau gejala komplikasi gastrointestinal, sepertia danya diare, mual, dan
lain-lain.
d. Mengoptimalkan
oksigen, oksigenasi yang optimal dilakukan dengan mempertahankan kepatenan pemberian
oksigen, melakukan penghisapa lendir sesuai kebutuhan, dan mempertahankan
stabilitas suhu.
e. Pemberian antibiotik.
Bayi
dengan respiratory distress syndrome perlu mendapat antibiotik untuk mencegah
infeksi sekunder. Dapat diberikan penisilin dengan dosis 50.000-100.000
U/kgBB/hari atau ampisilin 100 mg/kgBB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5
mg/kgBB/hari.
(Hidayat, 2008).
8.
Konsep
Asuhan Keperawatan
a.
Pengkajian
1) Biodata
Respiratory distress
sindrome merupakan suatu sindrom yang sering ditemukan pada neonatus dan
menjadi penyebab morbiditas utama pada bayi berat lahir rendah (BBLR). Sindrom
ini paling banyak ditemukan pada BBLR terutama yang lahir pada masa gestasi
< 28 minggu (Tobing, 2004).
2) Keluhan
utama
Adanya dispnea yang
akan diikuti dengan takipnea, pernafasan cuping hidung, retraksi dinding
toraks, dan sianosis (Tobing, 2004).
3) Riwayat
kesehatan
a) Riwayat
penyakit sekarang
Pada bayi yang
mengalami respiratory ditress sindrome adalah sesak nafas atau pernafasan
cepat, frekuensi nafas > 60 x/menit, pernafasan cepat dan dangkal timbul
setelah 6-8 jam setelah lahir, retraksi interkostal, epigastrium, atau
suprasternal pada inspirasi, sianosis dan pernafasan cuping hidung, grunting
pada ekspirasi (terdengan seperti suara rintihan saat ekspirasi), dan takikardi
(170 x/menit) (Suryanah, 1996).
b) Riwayat
penyakit dahulu
Pada pengkajian riwayat penyakit
dahulu perlu prematuritas dan masa kehamilan bayi (Tobing, 2004)..
c) Riwayat
penyakit keluarga
Faktor – faktor risiko
yang dapat kita pertimbangkan untuk meramalkan terjadinya respiratory distress
sindrome adalah riwayat kehamilan sebelumnya, bedah caesarea, diabetes, ketuban
pecah lama, penyakit ibu (Tobing, 2004).
4) Pemeriksaan
fisik
a) Keadaan
umum
Keadaan umum pasien
dengan respiratory distress syndrome di dapatkan kesadaran yang baik atau
composmetis dan akan berubah sesuai dengan tingkat gangguan yang melibatkan
perfusi sistem saraf pusat.
b) Pemeriksaan
fisik (B1-B6)
B1
(Breathing)
Takhipneu adalah manifestasi awal
distress pernafasan pada bayi. Takhipneu tanpa tanda lain berupa distress
pernafasan merupakan usaha kompensasi terhadap terjadinya asidosis metabolik, frekuensi
nafas yang sangat lambat dan ireguler sering terjadi pada hipotermi, kelelahan
dan depresi SSP yang merupakan tanda memburuknya keadaan klinik.Meningkatnya
usaha nafas ditandai dengan respirasi cuping hidung, retraksi dinding dada,
yang sering dijumpai pada obtruksi jalan nafas dan penyakit alveolar. Anggukan
kepala ke atas, merintih, stridor dan ekspansi memanjang menandakan terjadi gangguan
mekanik usaha pernafasan (Adun, 2012).
B2
(Blood)
Pemeriksaan kualitas nadi sangat
penting untuk mengetahui volume dan aliran sirkulasi perifer nadi yang tidak
adekuat dan tidak teraba pada satu sisi menandakan berkurangnya aliran darah
atau tersumbatnya aliran darah pada daerah tersebut. Perfusi kulit kulit yang
memburuk dapat dilihat dengan adanya bercak, pucat dan sianosis (Adun, 2012).
B3
(Brain)
Terjadi immobilitas, kelemahan, kesadaran lethargi,
penurunan suhu tubuh (Adun, 2012).
B4
(Bladder)
Pada
ginjal terjadi penurunan produksi atau laju filtrasi glomerulus (Somantri, 2009).
B5
(Bowel)
Pasien biasanyan mual
dan muntah, anoreksia akibat pembesaran vena dan statis vena di dalam rongga
abdomen, serta penurunan berat badan (Somantri, 2009).
B6
(Bone)
Pada keadaan perfusi dan hipoksemia,
warna kulit tubuh terlihat berbercak (mottled), tangan dan kaki
terlihat kelabu, pucat dan teraba dingin (Adun, 2012).
b.
Diagnosa
Keperawatan
1) Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas b.d edema pulmonal, cedera pulmonal.
2) Ketidakefektifan
pola nafas b.d kolaps alveoli, peningkatan usaha nafas, takipnea.
3) Gangguan
pertukaran gas b.d pembentukan membran hialin, cedera pulmonal.
4) Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d reflek menghisap berkurang, intake
inadekuat.
5) Ketidakefektifan
koping keluarga b.d perubahan status kesehatan, kecemasan keluarga.
c.
Intervensi
1) Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas b.d edema pulmonal, cedera pulmonal.
Tujuan
:
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam bersihan jalan nafas kembali
efektif.
Kriteria
hasil :
a. Pasien dapat
bernafas secara normal tanpa menggunakan otot bantu pernafasan.
b. Tidak ada
bunyi nafas tambahan.
c. Pergerakan
nafas normal.
Intervensi :
a) Beri
penjelasan mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan pada keluarga pasien.
Rasional : mencegah kesalahfahaman antara
perawat dan
keluarga pasien serta
meningkatkan pengetahuan keluarga pasien.
b) Kaji fungsi
pernafasan (bunyi nafas, kecepatan, irama, kedalaman, dan penggunaan otot bantu
pernafasan).
Rasional : sebagai penurunan bunyi nafas
menunnjukkan
atelektasis, sedangkan grunting
menunjukkan adanya akumulasi sekret pada pulmonal dan edema.
c) Lakukan
pengisapan lendir dalam waktu kurang dari 15 detik.
Rasional : penghisapan lendir dapat mengurangi lendir pada
saluran pernafasan sehingga jalan
nafas kembali efektif dan mencegah hipoksia.
d) Atur
posisi pasien semi fowler
Rasional : posisi semi fowler memaksimalkan ekspansi paru
dan
menurunkan usaha bernafas
e)
Kolaborasi dengan dokter pemberian agen mukolitik.
Rasional : agen mukolitik menurunkan keketalan dan
perlengketan sekret sehingga
memudahkan pembersihan jalan nafas.
2) Ketidakefektifan
pola nafas b.d kolaps alveoli, peningkatan usaha nafas, takipnea.
Tujuan
:
Setelah dilakukan
tidakan keperawatan dalam waktu 3 x 24 jam tidak
terjadi perubahan pola nafas.
Kriteria
hasil :
a) Pasien tidak
sesak nafas
b) RR
dalam batas normal
c) Tidak
terjadi sianosis
Intervensi
:
a) Beri
penjelasan mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan oleh perawat pada keluarga
pasien
Rasional : mencegah kesalahfahaman antara
perawat dan
keluarga pasien serta
meningkatkan pengetahuan pasien.
b) Observasi
tanda-tanda vital
Rasional : peningkatan pernafasan dapat
menunnjukkan
adanya ketidakefektifan
pengembangan ekspansi paru.
c) Kaji
bunyi nafas.
Rasional : indikasi adanya edema paru sekunder
akibat
cedera
pulmonal.
d.
Kolaborasi dengan dokter pemberian O2.
Rasional : meningkatkan intake O2 dalam
tubuh sehingga
kebutuhan
O2 dalam tubuh terpenuhi.
3) Gangguan
pertukaran gas b.d pembentukan membran hialin, cedera pulmonal.
Tujuan
:
Setelah dilakukan
tindakan keperawatan dalam waktu 2x24 jam tidak terjadi gangguan pertukaran
gas.
Kriteri
hasil :
a)
Tidak terjadi dyspnea
b)
Tidak ada tanda-tanda sianosis
c)
SpO2 dalam batas normal
Intervensi
:
a) Beri
penjelasan mengenai prosedur tindakan yang akan dilakukan oleh perawat pada keluarga
pasien
Rasional : mencegah kesalahfahaman antara
perawat dan
pasien serta
meningkatkan pengetahuan keluarga pasien.
b) Obserfasi
SpO2 dalam darah
Rasional : penurunan nilai SpO2
dalam darah dapat
menunnjukan
adanya hipoksemia dalam tubuh.
c)
Observasi warna kulit, membran mukosa
dan kuku, catat adanya sianosis perifer dan sianosis pusat
Rasional : sianosis kuku, membran
mukosa dan sekitar mulut
menggambarkan
vasokontriksi atau respons tubuh terhadap hipoksemia sistemik..
d)
Berikan oksigen lembab dengan masker
CPAP sesuai indikasi.
Rasional : meningkatkan kadar oksigen dalam tubuh pasien
sehingga
tidak terjadi hipoksia.
d.
Implementasi
Implementasi adalah pengelolaan dan
perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Implementasi
keperawatan respiratory distress syndrome sesuai dengan intervensi yang telah
dibuat sebelumnya.
e.
Evaluasi
Evaluasi adalah perbandingan yang
sistemik atau terencana tentang kesehatan pasien dengan tujuan yang telah
ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan, dengan melibatkan pasien,
keluarga dan tenaga kesehatan lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adun. (2012). RDS (Respiratiry Distress Syndrome).
Retrieved January 24, 2016, from
http://adoen-berbagiilmu.blogspot.co.id/2012/04/rds-respiratiry-distress-syndrome.html
Azizah, N. (2013). Respiratory Distress Sindrome. Retrieved January 23,
2016, from http://akbidwh.blogspot.co.id/2013/03/respiratory-distress-syndrome-rds.html
Effendi, S. H., & Ambarwati, L. (2014). Continuous Positive Airway
Pressure ( CPAP ). Bandung. Retrieved from
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2014/07/CPAP.pdf
Effendi, S. H., & Firdaus, A. (2010). Diagnosis dan Penatalaksanaan
Respiratory Distress Sindrome pada Neonatus. Padjajaran. Retrieved from
http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2014/07/Distress-Pernafasan.pdf
Hidayat, A. aziz A. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk
Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika.
Meadow, R., & Newell, S. (2005). Lecture Notes Pediatrika
(edisi Ketu). Jakarta: Erlangga.
Somantri, I. (2009). Asuhan Keperawatan Gangguan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernafasan (Edisi 2). Jakarta: Salemba Medika.
Suryanah. (1996). Keperawatan Anak untuk Siswa SPK. Jakarta: EGC.
Tobing, R. (2004). Kelainan Kardiovaskular pada Sindrom Gawat Nafas
Neonatus. Sari Pediatri, 6(1), 40–46.
Warman, F. I., Waskito, S., & Romadhon, M. (2012). Respiratory Distress
Sindrome. Retrieved January 23, 2016, from
https://www.scribd.com/doc/97547993/Respiratory-Distress-Syndrome
Tidak ada komentar:
Posting Komentar